Pages

Banner 468 x 60px

 

Sabtu, 14 April 2012

Jaded ( Ini Bukan Suatu Kesalahan )

0 komentar
Tidak semuanya akan hilang, karena Selalu ada yang tersimpan
,Termasuk kamu
(abails)

“ Hallo, Samsul ?”
“ Ya, saya sendiri”
“ Hei ! ini Jaded,di Jogja kah kau sekarang?”
Itu percakapan telepon di pagi hari yang cukup mengejutkan. Dari seorang teman lama yang membuatku termenung sesaat, mengusik memori masa lalu.

###

Cantik sekali dia sekarang, rambut gelombang hitamnya tergerai basah saat ku sambangi di hotel tempat ia menginap. “ Hei,” sapanya saat melihatku, “ sebentar ya.. ku keringkan rambutku dahulu”, lanjutnya. Ia begitu terlihat segar, wangi shampoonya menambah kuat kesan itu. Tak sengaja ku lihat pundak lehernya saat ia mengibaskan rambut , begitu putih mulus menggairahkan. Aku meneguk ludah tanpa sadar, atau justru dengan penuh kesadaran.

“ Bagaimana studimu Samsul, lancarkah ?”
“ kini sedang bimbingan, bulan kemarin baru saja seminar”
“oh ya, begitu cepatnya, kau memang brilliant Samsul, dari kuliah dulu kau memang berbeda”, lanjutnya sambil terus mengibaskan rambut.
“ kau sendiri, apa aktivitasmu kini Jaded ?”
“ aku..? Hihihi aku bisnis asesories, ku ambil dari Bengkulu, banyak batu bagus di sana “

“dengan Bachtiar ?” tebakku menerka
“hihihi iya, dulu dia sendiri yang bilang tentang potensi daerahnya, jadi aku hanya menagih kata-katanya saja, repotlah dia melayani ku hihihi, dari dia pula aku tau kalau kau sedang studi di jogja, ku minta no kontakmu dari dia”
“ baikkah dia disana ?” tanyaku

“ gendut dia sekarang, dua anaknya” jawab Jaded sambil merapihkan rambut, tampaknya ia sudah selesai, ia berjalan menghampiriku, “kau tidak menanyakan kabarku Samsul ?” tanyanya sambil merangkul bahu, matanya menatap tajam. Aku jengah dan risih. Matanya yang tajam tiba-tiba berbinar, “ ha ha ha Samsul ! Samsul ! belumlah kau berubah, selalu berkeringat dingin bila dekat wanita hi hi hi,” tawanya penuh kemenangan, dan sambil melepaskan pegangan tangan ia mengambil jarak yang nyaman namun tetap cukup dekat untuk bertanya,

“ kemana kita malam ini, Sul ?”
“ tergantung kau mau apa, mau cari makanan, jalan-jalan atau belanja ”
“ sebenarnya aku mau berdua saja denganmu, rindu aku, hampir lima tahun kita tidak berjumpa”
“ berjalanpun kita tetap berdua, Jaded,” jawabku
“ iya tapi aku suka suasana tenang, seperti dulu..” katanya sambil tersenyum menggoda, “oh kalau begitu kita menonton saja Samsul,” pekiknya sambil melompat menatapku meminta persetujuan.

“ oke kalau kau mau,” jawabku tanpa keberatan, “ asyik,” pekiknya setengah melompat. Kami pergi meninggalkan hotel Garuda, awalnya ku tawarkan ia naik motorku, tapi ia menolak, “ hancur dandananku Samsul,” tolaknya. “ jangan tersinggung, tapi aku berdandan ini untukmu,” lanjutnya. “nanti kita cari waktu lain untuk pakai motor, tapi tidak malam ini,” jelasnya berharap aku tak tersinggung.

Jadilah akhirnya kami naik taksi ke Ambarukmo Plaza.
“ tambah ganteng kau Samsul, tambah putih kulitmu,” katanya dalam taksi.
“ sudahlah Jaded, aku tak tersinggung dengan motorku tadi”
“ oh.. aku berkata jujur Samsul, aku malah sudah lupa dengan motor bututmu tadi,” jawabnya sambil tertawa.
“ kau selalu menggodaku Jad, kita tidak muda lagi”
“ kata siapa ? kau baru 33 dan aku 30 tahun, itu belum terlalu tua Samsul, jangan berlagak tua kau itu,” aku hanya diam, malas melayani pendapatnya. Jaded menatapku, digesernya badan ke bahuku, lalu sambil memandang. “ benar, tambah ganteng kau ini,” gumamnya seakan berbicara sendiri, tangannya lembut mengibaskan rambut di dahiku.
“Jaded !, “ aku protes dengan tingkahnya
“ boleh ku cium kau Samsul?” tanyanya tanpa berkedip
“ayolah Jaded, tak malukah kau pada sopir taksi,” ujarku sambil melirik pada sopir taksi yang fokus pada jalanan, sepertinya. “ tentu tidak Samsul!” katanya sambil mencium pipiku. Aku agak jengah, untunglah tak lama kemudian taksi memasuki pelataran parkir plaza Ambarukmo. Aku terhindar dari perasaan singkuh pada sopir taksi.

“kita ke lantai lima Jad, teaternya di sana,”. “Oke..” katanya tak keberatan. Ia langsung mengandeng tanganku, kami berjalan bersisian layaknya anak muda yang tengah di mabuk asmara. Kadang malu juga aku. “Seperti masa lalu kan ?” bisiknya tersenyum. Kami memang seperti masa lalu, seperti anak-anak muda yang malam minggu ini banyak membanjiri Plaza Ambarukmo. Sesekali kami tertawa jika melihat hal lucu, tentunya kami hubungkan dengan masa lalu.

Kami memilih film yang romantis, walaupun tak ada referensi tentang film yang kami tonton. “Jaded, kita tak akan sempat untuk makan,” ucapku memberitahu saat melihat jadwal pemutaran film yang tinggal 15 menit lagi. “tak apa Sul, kau belilah tiketnya, biar aku cari makanan untuk penganjal perut kita,” jawabnya sambil melepaskan pegangan tangan.

Kami masuk di saat pariwara tentang daerah Sleman sedang di putar. Studio empat ini tidak terlalu ramai. Sengaja ku pilih tempat duduk agak kebelakang agar tidak terlalu pusing serta leluasa, kebetulan dua bangku disamping kami kosong, sengaja ku pilih demikian. “ minum Samsul ?” Jaded menyodorkan minuman. Film segera dimulai. “ ku harap filmnya bagus,” ucapku berkata sendiri. “ film saja dalam pikiranmu itu Sul,” Jaded tertawa mendengar ucapanku. Music keras mulai terdengar dari speaker, suaranya kadang membuat tempat duduk kami bergetar. Film di putar, kami seperti terhipnotis mengikuti opening dari film tersebut, tuk sesaat.

“ kenapa dulu kau tak melamarku Sul ?” tiba-tiba Jaded bertanya seperti bergumam. Aku menoleh padanya, tapi mata Jaded tetap menatap layar. Ku tarik nafasku karena tak menyangka mendapat pertanyaan tersebut. “ kau tau mengapa Jaded,” jawabku. “ tidak Samsul, aku ingin dengar dari mulutmu langsung,” matanya tetap menatap layar. Nada suaranya betul-betul berharap.

“ aku minder Jaded, dan kau tau itu,” jawabku mencoba mengingat kembali. “ Samsul yang kau kenal hanyalah anak petani yang kebetulan berkuliah karena orang tuanya menjual sebagian lahannya. Kuliah adalah sebuah jalan bagi keluargaku untuk melepaskan kami dari kemiskinan, makanya aku berusaha realistis agar harapan orang tuaku tidak sia-sia,” jawabku sambil menghembuskan beban dalam dadaku yang tertahan bertahun-tahun lalu.

“ tentu saja setelah tamat, orang tuaku berharap agar aku segera mendapatkan pekerjaan supaya bisa membantu pendidikan adik-adikku, lalu dengan keadaan seperti itu kau berharap aku melamarmu?” ujarku seperti bertanya keheranan. “ he he he Jaded Manilow, anak pejabat pajak yang kuliah membawa Baleno, yang kosmetiknya saja cukup untuk biaya makanku 1 bulan.., bercanda kau Jaded, aku cukup tau diri,” ujarku sambil menghembuskan nafas dari mulutku.
“ tapi kau tau aku tak mengharapkan apa-apa darimu Samsul,” balasnya penuh pekanan kata.
“ ya, aku menyadarinya, tapi pernikahan bukan hanya tentang dua individu, tapi juga dua keluarga,” aku menghela nafas sejenak, “ jangankan untuk menerimaku Jaded, untuk menerima gaya hidupmu yang terlalu berbaur dengan orang seperti aku saja orang tuamu belum tentu setuju,”
“ini tentang kita Samsul ! ” pendek kalimat itu terlontar
“ya aku tau, mungkin aku juga yang terlalu sayang padamu Jaded”. Ajaib kata-kata itu membuat Jaded memalingkan mukanya dari layar, menatapku,

“ coba katakan sekali lagi Samsul, tapi berpalinglah padaku,” pintanya.
“ aku tak bisa membayangkan bagaimana cara membahagiakanmu Jaded, aku tak akan sampai hati memberimu sesuatu seadanya seperti di keluargaku. Aku juga tak tau bagaimana cara membeli pakaian dan kosmetikmu, aku terlalu sayang padamu Jaded, aku tak mau kau menderita karena berusaha menurunkan standar hidupmu demi aku. Tapi aku dulu bertekad Jaded, aku akan merubah standar hidupku agar bisa sama denganmu, tentu saja setelah aku memenuhi kebutuhan keluargaku.”

“ so sweet Samsul, hanya lain kali sudut pandangnya harus menyertakan perspektifku juga,” sindirnya sambil kembali menatap layar.
“ maafkan aku Jaded, aku tau kau menganggapku pengecut”.
“ tidak Samsul,” jawab Jaded sambil mengenggam tanganku, “ aku tak pernah berpikir begitu,” lanjutnya lagi. Kami lalu sama-sama terdiam terpaku menatap layar, penuh dengan pikiran masing-masing.

“ kha ha ha,” tiba-tiba Jaded tertawa, tangannya tambah erat mengenggam jariku.
“kenapa kau tertawa Jaded?” tanyaku heran.
“ aku teringat masa lalu, Samsul yang pendiam tapi pintar hi hi, aneh aku tertarik padamu,” ia seperti keheranan sendiri.
“kau selalu menggodaku dari dulu Jaded,”
“ aku tak tahan menunggu kau mendekatiku Samsul,” balasnya tertawa.
“ kau tak memberiku kesempatan Jaded, kau selalu mengejarku hingga aku tak punya peluang menyatakan perasaanku he he he”, balasku.
“ oh Samsul.. aku rindu saat-saat dulu,” bisik Jaded sambil mengambil lenganku dan memeluknya. Kepalanya disandarkan dibahuku , matanya terus menatap layar.

“kau menangis Jaded ?” tanyaku
“aku selalu menangis bila di dekatmu Samsul”
Aku melingkarkan tanganku dibadannya, ia memelukku erat.

#####

“terimakasih Samsul,” katanya saat ku antar kembali ke hotelnya.
“ untuk apa ?” tanyaku
“ untuk saat-saat indah tadi” jawabnya, “duduklah Sul, kau cari mana yang nyaman, aku cuci muka dulu”.

Aku duduk di kursi samping tempat tidur, menunggu Jaded di kamar mandi. Tak lama ia keluar, “ pilihlah minuman di kulkas Sul, aku juga tak tau apa isinya” ucapnya sambil menuju lemari. Aku menurut saja mengambil kaleng minuman dingin, langsung ku minum, segar segera menjalari kerongkonganku kala air mengalirinya. Ku lihat Jaded memilah-milih pakaian.

“ Samsul, balikan dulu badanmu.” Pintanya.” Aku mau ganti baju”.
“kenapa tak menggunakan kamar mandi saja,” tanyaku sambil membalikkan badan.
“kenapa..? Apa yang kutakutkan dari lelaki polos sepertimu,” jawabnya sambil tertawa.

Tak lama kemudian. “ sudah Sul.” Katanya memberitahu. Aku berbalik, “ wow,” ucapku reflek saat melihat kemeja flannel lembut yang dipakainya, kotak biru-biru putih.
“ masih kau ingat rupanya sul,” katanya tersenyum menghampiriku, “ aku memakainya saat sedang senang”.

“ oh.. kemeja itu sudah tujuh tahun Jaded, saatnya kau kembalikan,” godaku
“ tidak ! aku mencurinya susah payah,” balasnya tertawa,” kau tidak ganti baju Samsul ? ada pakaian yang disediakan hotel,” tawarnya sambil duduk dipangkuanku, langsung diciumnya pipiku. “maaf Samsul, aku tak tahan bila sedang senang,” ujarnya sambil tersenyum.
“kau selalu memaksakan apa yang kau ingin Jaded, hingga dapat!,” ucapku sambil meneguk minuman.

“oh no.. no.. ada satu yang tak kudapatkan,” jawabnya sambil mengeleng-gelengkan kepala.
“oh ya…? Apa itu ?” tanyaku ingin tahu.
“kau Samsul, kau yang tak kudapatkan,” jawabnya tertawa langsung memelukku. “ makanya saat bersamamu aku betul-betu menikmatinya, karena aku tau kamu tak mungkin ku miliki Samsul..” lanjutnya sambil merapatkan kepalanya di dadaku. Hangat sekali badannya, aku menikmatinya, ku peluk badannya, ia mengerang di telingaku.

“menginaplah di sini Samsul,” bisiknya. Aku masih menikmati kehangatan dan keharuman tubuhnya.
“ kau tau aku tak bisa Jaded,” jawabku berat. “jangan berpikir buruk tentangku Samsul, aku hanya ingin menikmati pelukanmu, cuma itu, tidak lebih,’” ucapnya menjernihkan tujuannya. “aku tau Jaded, aku juga tidak berpikir demikian,” jawabku. Jaded mengeratkan pelukannya, “ehm..” gumamnya seakan tak ingin melepasku.

“Jaded, aku harus pulang,” bisikku
“oh Samsul tunggulah 5 menit lagi,” jawabnya berharap
“tidak Jaded, lima menit berikutnya aku tak kan bisa lagi melepaskan pelukanku.

“ehm..” dengan berat ia melepaskan pelukanku, menatapku sejenak lalu berdiri ke arah pintu. Ia tahu aku harus pulang. Aku menarik nafas panjang lalu berjalan ke pintu. Ku tatap sekilas matanya yang juga menatapku. Oh Jaded begitu ingin aku menghabiskan malam ini denganmu. Ku cium keningnya sekilas sebelum membuka pintu hotel dan berjalan keluar, “ selamat malam, Jaded,” bisikku. Ku langkahkan kakiku keluar kamar.

“Samsul.., siapa dia ?” Tanya Jaded saat aku telah lima langkah dari pintu kamarnya. “Bachtiar cerita kau sudah bertunangan,” ucapnya dari pintu.
“ya sudah 1 tahun Jaded”
“boleh ku tau namanya?” tanyanya lagi
“Fatimah Nuraini ,” jawabku singkat
“cantikkah dia Samsul?”
“ya, cantik, kecantikan lokal tentu saja,” jawabku sambil tersenyum.
“aku yakin dia cantik, dia beruntung mendapatkan kau Sul, lelaki baik,” pujinya sambil menatapku, “ salamku padanya bila kau bertemu,”titipnya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum, “selamat malam Jaded,” pamitku. “ selamat malam Samsul,” balasnya. Aku membalikan badan dan berjalan. Aku tau matanya akan terus mengikuti hingga badanku menghilang dari pandangan matanya.

“Jaded…” gumamku saat dingin menerpaku saat mengendarai motor bututku membelah jalan-jalan Jogja.

Yogyakarta, 16-17 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar